IPALatau Installasi Pengolahan Air Limbah, pada Pabrik Kelapa Sawit. Berlangsung melalui beberapa tahap secara umum yakni, pendinginan, pencampuran, dan penguraian. Pendinginan Pada proses pendinginan, yakni sludge atau limbah murni dari proses pengolahan pabrik yang disini diproduksi dari stasiun klarifikasi.
Limbahcair di kolam penampungan yang tidak dimanfaatkan berpotensi dalam kerusakan lingkungan, sehingga PT. Meningkatnya perkembangan teknologi pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit; 4) Meningkatnya permintaan energi dunia dan kecenderungan berkurangnya ketersediaan energi dari fosil; 5) Proses perizinan yang lama dari pemerintah
Hasilpemeriksaan laboratorium air limbah pabrik kelapa sawit PT. X menunjukkan bahwa parameter fisik (TSS) yaitu 875 mg/L dan parameter kimia BOD yaitu 227,2 mg/L serta COD yaitu 710,0 mg/L berada di atas baku mutu air limbah dan pada parameter kimia pH yaitu 8,19, minyak dan lemak yaitu 5,75 dengan keadaan netral pada baku mutu air limbah
Secarakonvensional pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) dilakukan dengan sistem kolam yang terdiri dari kolam anaerobik dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari (Wulfert et al., 2000). Keuntungan dari cara ini antara lain adalah: • Sederhana • Biaya investasi untuk peralatan rendah • Kebutuhan energi rendah
Dalampenanggulangan limbah cair pada pabrik sawit terdapat kolam buatan ini terdiri dari : Kolam Fat Pit Pada kolam ini terdapat 6 tingkat pengutipan dengan tujuan untuk penampungan sementara lossis minyak hasil dari pengolahan dan pengutipan kembali minyak yang ikut terbuang.
soal matematika kelas 1 sd penjumlahan dan pengurangan. Perhitungan besarnya beban pencemaran yang masuk ke lingkungan tergantung pada kegiatan yang ada disekitar lingkungan tersebut. Untuk daerah pemukiman beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata perorang membuang limbah. Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan ukuran industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan air limbah yang ada. Selain limbah cair, limbah padat sampah juga merupakan beban pencemaran yang dapat masuk ke lingkungan baik secara langsung maupun tak langsung. Secara konvensional pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS dilakukan dengan sistem kolam yang terdiri dari kolam anaerobik dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari Wulfert et al., 2000. Keuntungan dari cara ini antara lain adalah • Sederhana • Biaya investasi untuk peralatan rendah • Kebutuhan energi rendah Akan tetapi bila ditelaah lebih lanjut, sistem kolam mempunyai beberapa kerugian antara lain • Kebutuhan areal untuk kolam cukup luas, yaitu sekitar 5 ha untuk pabrik kelapa sawit PKS dengan kapasitas 30 ton/jam. • Perlu biaya pemeliharaan untuk pembuangan dan penanganan Lumpur dari kolam. Untuk PKS yang menggunakan separator 2 fase, praktis semua lumpur sludge yang berasal dari buah mengalir ke kolam. Padatan tersuspensi dari Lumpur ini tidak akan/sedikit didegradasi sehingga konsentrasinya akan semakin meningkat dan akan mengendap di dasar kolam akan semakin menurun sehingga waktu retensi limbah akan turun dan kapasitas perombakkan kolam juga turun. Disamping itu pembuangan lumpur juga tidak dapat dilakukan pada semua bagian kolam karena luas dan dalamnya kolam. • Hilangnya nutrisi Semua nutrisi yang berasal dari limbah N, P, K, Mg, Ca akan hilang pada waktu limbah dibuang ke sungai. • Emisi gas metana ke udara bebas Hampir semua bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik tersuspensi didegradasi secara anaerobik menjadi gas metana dan karbondioksida. Emisi gas metana ke udara bebas dapat menyebabkan efek rumah kaca yang besarnya 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Jumlah gas metan yang diproduksi kolam limbah anaerobik sekitar 10 m3 setiap ton TBS diolah. Dengan memperhatikan kerugian pada penggunaan sistem kolam, maka perlu dikembangkan konsep alternatif pengolahan LCPKS secara terpadu. Konsep Alternatif Pengolahan LCPKS Pada tahap pertama, lumpur/padatan tersupsensi dipisahkan dengan dekanter atau dissolved air floatation dengan tujuan • Mengurangi kandungan COD, BOD, nitrogen dan pasir • Mengurangi masalah pada proses pengolahan berikutnya seperti foaming, sedimentasi dan penyumbatan pipa outlet reaktor karena adanya lumpur. Setelah lumpur dipisahkan, limbah cair yang kandungan utamanya adalah padatan terlarut di pompakan ke reaktor anaerobik unggun tetap/fixed bed, up flow anaerobic sludge blanket atau lainnya, dimana akan terjadi • Perombakan bahan organik menjadi biogas • Proses perombakan terjadi dalam waktu yang singkat dengan kinerja yang tinggi • Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dan disimpan LCPKS yang telah didegradasi secara anaerobik dapat digunakan sebagai air irigasi aplikasi lahan/land application untuk • memanfaatkan nutrisi dalam limbah • menghemat areal untuk kolam • meminimalisasi pencemaran dan konsumsi energi Apabila aplikasi lahan tidak dapat dilakukan, limbah dapat diolah lebih lanjut secara aerobik kolam aerobik atau activated sludge system sampai memenuhi baku mutu lingkungan sebelum dibuang ke sungai. Apabila energi menjadi faktor yang penting, fraksi lumpur dapat diolah secara anaerobik dalam reaktor anaerobik berpengaduk untuk produksi biogas. Lumpur yang sudah diolah dapat digunakan sebagai pupuk bersama dengan limbah cair untuk memanfaatkan nutrisinya. Lumpur juga dapat dikeringkan dengan drum drier untuk dijadikan pakan ternak. Pemanfaatan lain dari lumpur adalah untuk produksi kompos bersama-sama dengan tandan kosong sawit. Lumpur dicampur dengan TKS yang telah dirajang dan dibiarkan beberapa minggu sampai menjadi kompos. Dengan cara ini akan terjadi penguapan air pada lumpur. Tumpukan kompos ini harus dibalik secara periodik agar proses penguapan maksimal. Pada Gambar 2 terlihat beberapa variasi dan konsep alternatif pengolahan LCPKS. Apabila pabrik menggunakan sistem dekender 3 fase, maka tidak diperlukan proses pemisahan lumpur, tetapi proses pengolahan lumpur dan limbah cair adalah serupa. Proses utama dari konsep ini adalah pengolahan secara anaerobik dan pemisahan lumpur. 16 Gambar 2. Konsep pengolahan limbah terpadu PKS dengan separator 2 fase 39 Pengelolaan limbah cair dan lumpur dengan teknologi sistem kolam Teknologi sistem kolam merupakan penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS yang dianggap paling mudah dan murah bagi pabrik kelapa sawit karena limbah diolah dengan menggunakan prinsip instalasi penanganan air limbah IPAL yang bersifat end of pipe. Gambar 3 menunjukkan proses penanganan limbah cair kelapa sawit dengan menggunakan teknologi sistem kolam PPKS, 2000. Gambar 3. Teknologi penanganan sistem kolam PPKS, 2000 • Recovery Tank Berfungsi untuk mengurangi kadar minyak dari dalam limbah. • Deoiling Pond Berfungsi untuk menangkap minyak yang masih tersisa di dalam limbah, sehingga hanya tersisa 0,4% - 0,6%. • Cooling Pond Berfungsi untuk menurunkan suhu limbah menjadi 20-40 0C, agar mikroorganisme dapat menguraikan limbah. Cooling Pond dapat digantikan dengan Cooling Tower, yang memiliki fungsi sama namun lebih menghemat lahan. Recovery Tank Deoiling Tank Cooling Pond/Tower Netralization Seedling Pond Primary Anerobic Pond Secondary Anerobic Pond Facultative Pond Aerobic Pond FinalPond Public River 40 • Netralization Pond Berfungsi untuk menaikan pH limbah dari 4 menjadi 7,0 – 7,5, dengan menambahkan kaustik soda NaOH atau kapur tohor CaO. • Seedling Pond Berfungsi untuk mengembangbiakan bakteri. Jika sudah siap akan dialirkan ke kolam anaerobik. • Primary Anaerobic Pond Berfungsi untuk mengubah bahan organik majemuk oleh bakteri menjadi asam-asam organik yang mudah menguap. • Secondary Anaerobic Pond Merupakan kelanjutan dari Primary Anaerobic Pond, yang berfungsi untuk mengubah asam organik mudah menguap terutama asam asetat menjadi gas seperti metan, karbondioksida dan hidrogen sulfida. • Facultative Pond Berfungsi untuk menguraikan limbah oleh bakteri fakultatif yang pada penguraian sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh bakteri obligat. Dan sebagai kolam transisi sebelum masuk ke aerobic pond. • Aerobic Pond Berfungsi untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana oleh aktivitas mikroorganisme yang memiliki. Bahan organik disintesis menjadi sel-sel baru, dan hasilnya berupa produk akhir CO2, H2O, dan NH3 yang stabil. • Final Pond Berfungsi sebagai penampungan sementara limbah yang telah diolah, dan untuk menguji apakah baku mutunya sesuai dengan peraturan pemerintah pusat dan atau daerah, sebelum dikeluarkan dari sistem pengolahan air limbah. Pengelolaan limbah cair dengan teknologi aplikasi lahan Pemanfaatan limbah cair PKS dengan teknologi aplikasi lahan dilakukan dengan cara mengalirkan limbah yang berasal dari kolam penanganan limbah cair ke parit-parit yang ada di perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan limbah cair PKS menjadi pupuk dikarenakan 41 komposisi limbah cair yang masih banyak mengandung unsur-unsur hara yang tinggi. Proses pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit sebelum dialirkan ke lahan-lahan flat bed perkebunan sama dengan teknologi sistem kolam hingga pada proses pengendapan di kolam anaerobik. Penanganan ini dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai parameter limbah cair seperti BOD < 5000 ppm dan COD < 10000 ppm sehingga lahan dapat menyerap limbah tersebut sebagai pupuk cair organik. Gambar 4 berikut ini adalah yang menunjukkan teknologi yang menggunakan aplikasi lahan PTPN IV, 2004. Gambar 4. Teknologi aplikasi lahan PTPN IV, 2004 Pengelolaan limbah padat dengan teknologi mulsa Penanganan limbah padat berupa tandan kosong sawit dengan menggunakan tekologi mulsa merupakan teknologi penanganan yang paling mudah dan murah diantara sistem penanganan limbah padat lainnya. Proses teknologi mulsa hanya dilakukan dengan meletakkan dan mengatur tandan kosong sawit pada bagian-bagian dari lahan perkebunan sebagai pupuk organik. Penyebaran TKS harus sesuai dengan prosedur 42 agar tidak memicu pembususkan pada tanaman kelapa sawit PPKS, 2000. Selain pemanfaatan nilai haranya, dengan teknologi mulsa juga dapat diperoleh keuntungan sebagai berikut. • Perbaikan struktur tanah oleh mikroorganisme pada pelapukan tandan buah sawit • Pengurangan erosi tanah karena pembentukan lapisan pelindung • Perbaikan penahanan air dan pengurangan penguapan oleh lapisan yang terbentuk. Ada beberapa kerugian pemanfaatan mulsa sebagai pengganti pupuk anorganik, yaitu dapat terjadinya pembentukan jamur karena masih memiliki nilai hara yang tinggi sehingga menimbulkan pencemaran bau pada areal perkebunan. Kontrol yang kurang terhadap nilai-nilai parameter juga dapat memicu proses anaerob yang menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit. Pengelolaan limbah cair dan limbah padat TKS dengan teknologi pengomposan Teknologi pembuatan kompos Gambar 5 pada pabrik kelapa sawit terdiri dari 5 tahapan proses, yaitu PTPN IV, 2003 i Pencacahan Tandan Kosong Sawit Pencacahan dilakukan untuk mengecilkan ukuran tandan kosong sawit sehingga bidang kontak proses dapat menjadi lebih besar dan proses pengomposan dapat berjalan dengan baik. ii Pembuatan Tumpukan Pembuatan tumpukan dimaksudkan agar bahan pembuatan dapat ditangani dengan mudah dan bahan tidak bercecer ke mana-mana. Pembuatan tumpukan umunya memiliki lebar 3 meter dan tinggi mencapai 1,2 meter, sedangkan panjangnya tergantung ketersediaan lahan dan produksi kompos. iii Pembalikan Pembalikan dilakukan agar seluruh bagian tumpukan memperoleh aerasi yang cukup sehingga pengomposan dapat berjalan dengan baik. 43 Pembalikan dilakukan 3 – 5 kali dalam seminggu. iv Penyiraman Limbah Cair PKS Penyiraman dengan menggunakan limbah cair PKS bertujuan untuk menambah unsur hara dalam produk pengomposan. Penyiraman dilakukan 3 - 5 kali seminggu. v Pengeringan/Penjemuran Pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran dimaksudkan untuk mengurangi kadar air pada produk kompos yang diproduksi. Beberapa keuntungan penggunaan teknologi kompos, yaitu proses terjadi secara aerobik, tanpa penambahan mikroorganisme, waktu pengomposan 6-8 minggu, mutu produk tinggi dan homogen, resiko kegagalan kecil, memanfaatkan limbah cair, dan kebutuhan tenaga kerja rendah. Gambar 5. Teknologi Pengomposan PPKS, 2000
MGN/Catur Pemkab Batubara, Sumut, menyegel pabrik minyak kelapa sawit karena melanggar aturan lingkungan hidup. PEMERINTAH Kabupaten Batubara, Sumatra Utara Sumut, menyegel sebuah pabrik kelapa sawit. Pasalnya pabrik itu telah melanggar sejumlah aturan terkait lingkungan hidup. Penyegelan dilakukan di PT Buana Sawit Indah BSI di Desa Perkebunan Petatal, Kecamatan Datuk Tanah Datar, Batubara, Kamis 08/06/2023 sore. Penyegelan dilakukan petugas gabungan dari Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Pemkab Batubara, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Dinas Ketenagakerjaan Perindustrian dan Perdagangan, Satuan Polisi Pamong Praja dan pihak pemerintah kecamatan setempat. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Pemkab Batubara, Frans Siregar mengatakan penyegelan dan pembekuan sementara izin perusahaan dilakukan selama enam minggu. Jika hingga batas waktu tersebut pihak perusahaan tidak melaksanakan rekomendasi dari Pemkab Batubara, maka izin perusahaan akan dicabut secara permanen. Baca juga Studi Pulau Pohon di Kebun Kelapa Sawit Mampu Tingkatkan Keanekaragaman Hayati "Penyegelan ini terkait dengan ketidaktaatann perusahaan membuat izin terhadap limbah B3 dan cair," ujar Frans. "Ini kita buat pembekuan sementara, selama enam minggu. Jika tidak dilaksanakan maka akan dibekukan permanen," imbuhnya. Baca juga Petani Sawit Harus Mampu Produksi Bahan Baku untuk UMKM Adapun sejumlah aturan yang dilanggar pihak perusahaan di antaranya izin pemanfaatan limbah, uji parameter emisi boiler, uji parameter emisi genset, uji parameter kualitas udara ambien dan rekomendasi pengangkutan limbah B3. Z-3 Kinerja Pj Bupati Kepulauan Yapen Dapat Sorotan Masyarakat 👤Thomas Harming Suwarta 🕔Kamis 15 Juni 2023, 1803 WIB Mereka menyoroti tata kelola pemerintahan yang banyak menimbulkan gejolak sosial di masyarakat utamanya menyebabkan mundurnya perekonomian... Joyday Donasikan Laptop untuk Madrasah Tsanawiyah di Desa Sukamukti 👤Media Indonesia 🕔Kamis 15 Juni 2023, 1718 WIB Bantuan laptop diberikan agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lebih baik sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas...
Abstract So that the palm oil mill wastewater LCPKS into organic fertilizer, the required processing which aims to increase the nutrient content and degrade organic matter dissolved and suspended materials. Alternative processing to do, among others, is to use the chemical processing of mineral zeolite. The study aims to determine the chemical processing techniques LCPKS using zeolite minerals and determine the proper dose of zeolite minerals in order to increase the levels of N, P and K palm oil mill effluent pond acidification and appropriate quality standards of waste. The research was conducted at PT. Sumbertama Nusa Pertiwi Kumpeh District of Hulu Muaro and in the Laboratory, lasted for 3 months. Conducting research using using zeolite minerals clinoptilolite powder 60 mesh types of Gunung Kidul, Yogyakarta. Research using completely randomized design CRD, with 4 levels of treatment is done by adding the mineral zeolite 0, 5, 10 and 15%, then LCPKS analysis in the laboratory. The results showed that the zeolite 10% on LCPKS Swimming acidification give the levels of N, P, K, which is higher as well as BOD and pH appropriate quality standards of waste. Giving zeolite 15% on LCPKS Swimming Acidification provides the efficiency of adsorption of N, P, and K were higher.
The performance of anaerobic processes in the bioconversion of palm oil mill effluent into gaseous fuel is very dependent on the concentration of biomass. Effort to increase the concentration of anaerobic biomass can be done by using anaerobic hybrid bioreactor. The bioreactor used had 3 chambers, each divided for an up and down flow pattern and having a working volume of 2,5 m 3. Several series of experiments were conducted with variable hydraulic retention time HRT of 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; 4 and 5 day under room temperature conditions and continuous operation. This study uses two anaerobic hybrid bioreactors equipped with cell immobilization media. Media used in cell immobilization is a medium density form of solid palm oil mills waste, namely empty fruit bunch and palm midrib. The results showed that the anaerobic hybrid bioreactor system was capable of converting single-phase oil palm mill effluent with a good performance, and high organic loading rate of COD removal efficiency of 84% for the bioreactor with palm midrib media and 88% for the bioreactor with empty fruit bunch media within bioconversion of one day and the stability of the bioreactor is relatively high so as to convert liquid waste into fuel gas. 1 Pendahuluan Pemerintah Indonesia telah mencanangkan bahwa produksi minyak sawit kasar CPO pada tahun 2010 dicapai sebesar 12,29 juta ton. Setiap ton minyak sawit yang diproduksi akan menghasilkan 2,5 m 3 limbah cair sehingga pada tahun tersebut akan terjadi pencemaran limbah cair sebesar 30,7 juta m 3. Pencemaran ini dikategorikan sebagai pencemar lingkungan yang dahsyat karena karakteristik limbah cair tersebut mengandung COD yang sangat tinggi berkisar mg/L dan kandungan BOD 5 yang cukup tinggi berkisar dari mg/L. Sementara itu baku mutu yang diperbolehkan untuk harga COD senilai 350 mg/L dan BOD 5 sebesar 100 mg/L sesuai dengan KEPMEN LH N0. 51 Tahun 1995. Oleh karena itu, limbah cair pabrik kelapa sawit ini perlu dikonversi terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau perairan Ahmad dan Setiadi, 1993. Biokonversi limbah cair pabrik kelapa sawit secara biologis dapat dilakukan dengan sistem aerob atau sistem anaerob. Penanganan secara aerob mempunyai beberapa kelemahan antara lain membutuhkan biaya untuk aerasi dan penanganan lumpur. Kelemahan ini dapat diatasi oleh sistem anaerob dengan keuntungan antara lain tidak membutuhkan biaya untuk aerasi, lumpur yang dihasilkan sedikit dan menghasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pemanasan, pembakaran dan lain sebagainya Ahmad dan Wenten, 1999. Biokonversi limbah cair pabrik kelapa sawit di Indonesia sebagian besar menggunakan kolam anaerob fasa tunggal kemudian dilanjutkan dengan kolam aerob. Sistem ini mampu menyisihkan kandungan BOD hingga 95 %, namun dalam jangka waktu yang lama yakni 55 hari hingga 110 hari sehingga membutuhkan lahan instalasi yang sangat luas. Setiadi dan Arief 1992 berupaya mempersingkat waktu pengolahan dengan menggunakan bioreaktor unggun fluidisasi anaerob fasa tunggal menjadi 3 hari dengan efisiensi pengolahan 75 %. Sementara itu, Setiadi dan Faisal 1994 mengembangkan pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan bioreaktor berpenyekat anaerob fasa tunggal. Sistem ini mampu menyisihkan COD hingga 85 % dalam waktu pengolahan 2,5 hari. Beberapa rancangan sistem bioreaktor telah dilakukan untuk mengantisipasi agar biomassa dalam sistem tetap tinggi dengan waktu tinggal sel yang lama pada waktu tinggal hidraulik yang singkat. Ahmad dan Setiadi 1993 telah berhasil meningkatkan kinerja proses anaerob dalam mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dengan menggunakan bioreaktor unggun fluidisasi anaerob fasa tunggal. Sistem ini mampu menyisihkan COD hingga 83 % dalam waktu 7 hari. Selanjutnya, Ahmad 2001 telah berhasil mempercepat waktu pengolahan menjadi 0,83 hari dengan efisiensi penyisahan COD sebesar 80 % menggunakan bioreaktor berpenyekat anaerob. Ahmad dkk 2002, menggunakan bioreaktor membran mikrofiltrasi berbahan poli eter sulfon untuk mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dengan Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 26 Biokonversi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Dengan Bioreaktor Hybrid Anaerob Fasa Tunggal Adrianto Ahmad, Bahrudin, Said Zul Amraini dan David Andrio Lab. Rekayasa Bioproses Jurusan Teknik Kimia-Universitas Riau adri Abstract The performance of anaerobic processes in the bioconversion of palm oil mill effluent into gaseous fuel is very dependent on the concentration of biomass. Effort to increase the concentration of anaerobic biomass can be done by using anaerobic hybrid bioreactor. The bioreactor used had 3 chambers, each divided for an up and down flow pattern and having a working volume of 2,5 m3. Several series of experiments were conducted with variable hydraulic retention time HRT of 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; 4 and 5 day under room temperature conditions and continuous operation. This study uses two anaerobic hybrid bioreactors equipped with cell immobilization media. Media used in cell immobilization is a medium density form of solid palm oil mills waste, namely empty fruit bunch and palm midrib. The results showed that the anaerobic hybrid bioreactor system was capable of converting single-phase oil palm mill effluent with a good performance, and high organic loading rate of COD removal efficiency of 84% for the bioreactor with palm midrib media and 88% for the bioreactor with empty fruit bunch media within bioconversion of one day and the stability of the bioreactor is relatively high so as to convert liquid waste into fuel gas. Keywords HRT, single-phase, the anaerobic hybrid bioreactor, wastewater 1 Pendahuluan Pemerintah Indonesia telah mencanangkan bahwa produksi minyak sawit kasar CPO pada tahun 2010 dicapai sebesar 12,29 juta ton. Setiap ton minyak sawit yang diproduksi akan menghasilkan 2,5 m3 limbah cair sehingga pada tahun tersebut akan terjadi pencemaran limbah cair sebesar 30,7 juta m3. Pencemaran ini dikategorikan sebagai pencemar lingkungan yang dahsyat karena karakteristik limbah cair tersebut mengandung COD yang sangat tinggi berkisar mg/L dan kandungan BOD5 yang cukup tinggi berkisar dari mg/L. Sementara itu baku mutu yang diperbolehkan untuk harga COD senilai 350 mg/L dan BOD5 sebesar 100 mg/L sesuai dengan KEPMEN LH N0. 51 Tahun 1995. Oleh karena itu, limbah cair pabrik kelapa sawit ini perlu dikonversi terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau perairan Ahmad dan Setiadi, 1993. Biokonversi limbah cair pabrik kelapa sawit secara biologis dapat dilakukan dengan sistem aerob atau sistem anaerob. Penanganan secara aerob mempunyai beberapa kelemahan antara lain membutuhkan biaya untuk aerasi dan penanganan lumpur. Kelemahan ini dapat diatasi oleh sistem anaerob dengan keuntungan antara lain tidak membutuhkan biaya untuk aerasi, lumpur yang dihasilkan sedikit dan menghasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pemanasan, pembakaran dan lain sebagainya Ahmad dan Wenten, 1999. Biokonversi limbah cair pabrik kelapa sawit di Indonesia sebagian besar menggunakan kolam anaerob fasa tunggal kemudian dilanjutkan dengan kolam aerob. Sistem ini mampu menyisihkan kandungan BOD hingga 95 %, namun dalam jangka waktu yang lama yakni 55 hari hingga 110 hari sehingga membutuhkan lahan instalasi yang sangat luas. Setiadi dan Arief 1992 berupaya mempersingkat waktu pengolahan dengan menggunakan bioreaktor unggun fluidisasi anaerob fasa tunggal menjadi 3 hari dengan efisiensi pengolahan 75 %. Sementara itu, Setiadi dan Faisal 1994 mengembangkan pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan bioreaktor berpenyekat anaerob fasa tunggal. Sistem ini mampu menyisihkan COD hingga 85 % dalam waktu pengolahan 2,5 hari. Beberapa rancangan sistem bioreaktor telah dilakukan untuk mengantisipasi agar biomassa dalam sistem tetap tinggi dengan waktu tinggal sel yang lama pada waktu tinggal hidraulik yang singkat. Ahmad dan Setiadi 1993 telah berhasil meningkatkan kinerja proses anaerob dalam mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dengan menggunakan bioreaktor unggun fluidisasi anaerob fasa tunggal. Sistem ini mampu menyisihkan COD hingga 83 % dalam waktu 7 hari. Selanjutnya, Ahmad 2001 telah berhasil mempercepat waktu pengolahan menjadi 0,83 hari dengan efisiensi penyisahan COD sebesar 80 % menggunakan bioreaktor berpenyekat anaerob. Ahmad dkk 2002, menggunakan bioreaktor membran mikrofiltrasi berbahan poli eter sulfon untuk mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dengan PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 27 menggabungkan bioreaktor tersuspensi dengan teknik filtrasi membran. Tahun berikutnya, Ahmad dkk 2003 melakukan perbaikan sistem bioreaktor membran anaerob dengan menggunakan membran mikrofiltrasi berbahan polipropilen. Namun demikian, sistem tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan karena energi yang dibutuhkan relatif tinggi sehingga dinilai tidak ekonomis oleh pihak pabrik kelapa sawit. Untuk mengantisipasi fenomena tersebut maka diupayakan penggabungan sistem bioreaktor tersuspensi dan sistem bioreaktor melekat yang disebut sebagai bioreaktor hybrid anaerob. Penggabungan ini memberikan keuntungan sinergi yakni sistem bioreaktor tersuspensi mendegradasi senyawa organik menjadi asam asetat kemudian sistem bioreaktor melekat mendegradasi asam asetat menjadi gas metan dan karbon dioksida. Di samping itu, disain bioreaktor hybrid anaerob mempunyai rasio waktu tinggal biomassa dengan waktu tinggal hidraulik jauh lebih besar dibandingkan dengan sistim bioreaktor tercampur sempurna CSTR, continouos stirred tank reaktor Faisal, 1994. Makalah ini berupaya mengungkapkan biokonversi limbah cair pabrik kelapa sawit dengan bioreaktor hibrid anaerob fasa tunggal dengan menggunakasn media imobilisasi sel yang berbeda yakni media tandan kosong sawit dan media pelepah sawit. 2 Metode Metoda penelitian yang diuraikan di bawah ini mencakup karakteristik limbah cair pabrik kelapa sawit, sumber biomassa, bioreaktor anaerob, peralatan bioreaktor, pengoperasian bioreaktor serta metoda analisa. Sumber dan Karakteristik Limbah Cair Limbah cair yang akan digunakan dalam penelitian ini berasal dari pabrik kelapa sawit PT. Sei Pagar PTPN V Riau berlokasi di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Di samping itu, limbah padat berupa tandan kosong sawit dan pelepah sawit dimanfaatkan sebagai media imobilisasi sel bakteri anaerob dalam bioreaktor. Sumber Biomassa Bakteri anaerob yang digunakan berasal dari lumpur bakteri anaerob pada kolam kedua dan keempat Instalasi Pengolah Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit Sei Pagar PTPN V Riau. Lumpur biomassa kolam kedua IPAL diambil sebanyak 1 m3 dan lumpur biomassa kolam keempat IPAL diambil sejumlah 1,5 m3 dimasukkan kedalam bioreaktor. Lumpur bibit bakteri anaerob dimasukkan ke dalam ruang berpenyekat sebanyak 0,5 m3 pada ruang sekat pertama dan kedua serta 1,5 m3 pada ruang sekat ketiga. Bibit bakteri anaerob sebanyak 2,5 m3 tersebut diaklimatisasi dengan cara menginjeksikan gas nitrogen kedalam bioreaktor. Proses ini dilakukan selama 20 hari untuk memastikan bahwa bibit telah teraklimatisasi dengan baik terhadap limbah cair tersebut. Peralatan Bioreaktor Hybrid Anaerob Bioreaktor hybrid anaerob yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai volume total 4,5 m3 yang terdiri dari dua ruang sekat dengan volume masing-masing sebesar 0,75 m3 dan satu ruang sekat dengan volume 3 m3, sedangkan volume cairan efektif adalah sebesar 2,5 m3. Ruang sekat pertama dan kedua diperuntukkan sebagai bioreaktor pertumbuhan bakteri anaerob tersuspensi, sedangkan ruang sekat ketiga diperuntukkan sebagai bioreaktor pertumbuhan bakteri melekat yang dilengkapi dengan media padat sebagai media imobilisasi sel. Media padat tersebut diisikan sebanyak sepertiga dari ruang sekat. Ruang aliran arah kebawah dirancang sepertiga dari ruang aliran keatas pada setiap ruang berpenyekat. Rancangan bioreaktor tersebut secara rinci ditampilkan pada Gambar 1 InletGas meterEffluent SekatGambar 1 Bioreaktor Hybrid Anaerob BIOHAN PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 28 Penyekat-penyekat yang dipasang secara vertikal memaksa agar aliran limbah cair yang masuk dari bagian atas mengalir sesuai dengan bentuk pola aliran di dalam ruang berpenyekat. Perjalanan aliran limbah cair tersebut kembali memaksa melewati bagian atas penyekat dan begitu seterusnya sehingga mengalir keluar dari bioreaktor. Bakteri anaerob di dalam bioreaktor cenderung terangkat dan terendapkan kembali akibat terbentuk biogas selama proses biokonversi secara anaerob. Bakteri anaerob tersebut akan bergerak secara perlahan ke arah horizontal sehingga terjadi kontak antara biomassa aktif dan limbah cair yang masuk serta aliran keluar relatif bebas dari padatan biomassa. Tahap Penentuan Laju Alir Umpan Optimum Fasa Tunggal Variabel proses yang digunakan adalah laju alir umpan limbah cair pabrik kelapa sawit yakni 500 L/hari; 625 L/hari; 714 L/hari; 830 L/hari; 1000 L/hari; 1250 L/hari; 1667 L/hari dan 2500 L/hari dengan waktu tinggal hidraulik 1 ;1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; 4 dan 5 hari. Kondisi operasi bioreaktor hybrid anaerob pada suhu ruang dan kontinu. Parameter yang diamati antara lain pH, suhu, asam lemak volatil yang dinyatakan sebagai asam asetat, alkalinitas, COD total, konsentrasi biomassa sebagai VSS, volume gas dan komposisi biogas. Lokasi dan Frekuensi Sampel Parameter yang dikaji pada penelitian ini antara lain pH, suhu, COD, VSS, total asam lemak volatil TAV, alkalinitas, produksi biogas dan komposisinya. Jenis dan frekuensi pengambilan sampel ditampilkan pada Tabel 1 berikut. Metoda Analisa Parameter yang diamati antara lain pH, suhu, asam lemak volatil yang dinyatakan sebagai asam asetat, alkalinitas, COD total, konsentrasi biomassa sebagai VSS. Parameter tersebut dianalisa sesuai dengan metoda standar APHA, AWWA, WCF, 1992, sedangkan volume gas dengan metoda penampungan dengan larutan NaCl jenuh. Tabel 1. Parameter, lokasi dan frekuensi sampel 3 Hasil dan Pembahasan Pada bagian ini akan diuraikan mengenai karakteristik limbah cair, pengaruh laju alir umpan terhadap proses optimalisasi bioreaktor hybrid anaerob, pengaruh laju pembebanan organik terhadap kinerja bioreaktor. Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada bagian ini dikaji tentang karakteristik limbah cair yang akan digunakan sebagai umpan bioreaktor hybrid anaerob. Limbah cair yang digunakan adalah limbah cair Pabrik Kelapa Sawit Sei Pagar PTPN V Riau dengan karakteristik seperti ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Sei Pagar PTPN V Padatan Tersuspensi Total TSS Padatan Volatil Tersuspensi TVS Padatan Tersuspensi Volatil VSS PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 29 Tabel 2 menunjukkan bahwa limbah cair pabrik kelapa sawit yang akan diolah dengan bioreaktor hybrid anaerob mempunyai kandungan organik yang tinggi dan bersifat asam. Berdasarkan kandungan senyawa organik tersebut maka proses biokonversi yang sesuai adalah proses anaerob. Menurut Malina dan Pohland 1992 bahwa limbah cair yang mengandung COD di atas 3000 mg/L lebih baik diolah secara anaerob dibandingkan dengan proses aerob. Hal ini disebabkan bahwa biokonversi limbah cair dengan kandungan COD di atas 3000 mg/L secara aerob membutuhkan energi yang besar untuk proses aerasi. Pengaruh Laju Alir Umpan Terhadap Optimalisasi Bioreaktor Hasil pengamatan selama variabel laju alir umpan pada bioreaktor hybrid anaerob ditampilkan dengan melihat hubungan antara laju alir umpan terhadap pH dan konsentrasi asam lemak volatil, serta kehilangan biomassa anaerob. pH Dan Asam Lemak Volatil Pengaruh laju alir umpan terhadap pH dan asam lemak volatil yang dihasilkan ditampilkan pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai pH mendekati konstan dan tidak dipengaruhi oleh peningkatan laju alir umpan pembebanan organik. Hal ini bisa saja terjadi karena fluktuasi pH sistem sangat dipengaruhi oleh alkalinitas yang terbentuk selama proses anaerob. Pada penelitian ini, alkalinitas yang terbentuk mampu menetralisir perubahan pH yang terjadi di dalam sistem. Sementara itu, semakin tinggi laju alir umpan mengakibatkan semakin menurun konsentrasi asam lemak volatil. Konsentrasi asam lemak volatil yang diperoleh berkisar dari mgTAV/L pada bioreaktor hybrid anaerob bermedia tandan kosong sawit, sedangkan pada bioreaktor hybrid anaerob bermedia pelepah sawit sebesar 893 mgTAV/L. Rentang konsentrasi asam lemak volatil ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peneliti lain Nakamura dkk., 1993; Ng dkk., 1985; Ahmad, 1992. Nakamura dkk. 1993 memperoleh konsentrasi asam lemak volatil sekitar 400 mg/L pada SRT 8 jam dengan menggunakan substrat glukosa. Sementara itu, Ng dkk. 1985 memperoleh asam lemak volatil sebesar mg/L pada waktu tinggal hidraulik 1 hari dengan menggunakan substrat limbah cair industri minyak sawit, sedangkan Ahmad dan Setiadi 1993 memperoleh asam lemak volatil sebesar mg/L pada waktu tinggal a b Gambar 2 Pengaruh laju alir umpan terhadap pH dan asam lemak volatil pada bioreaktor hybrid anaerob bermedia tandan kosonga dan pelepah sawit b a b Gambar 3 Pengaruh laju alir umpan terhadap kehilangan biomassa anaerob pada bioreaktor hybrid anaerob bermedia tandan kosong a dan pelepah sawit b PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 30 hidraulik 2 hari dengan menggunakan limbah cair industri minyak sawit. Sementara itu, Sam-Soon dkk. 1991 memperoleh asam lemak volatil sebesar 13 mg/L pada pembebanan organik 4,2 kgCOD/m3-hari dengan menggunakan substrat yang mengandung asam lemak rantai panjang asam oleat. Kehilangan Biomassa wash-out Konsentrasi bakteri anaerob di dalam sistem bioreaktor hybrid anaerob diwakili oleh konsentrasi VSS volatile suspended solid di dalam bioreaktor. Pengaruh laju alir umpan terhadap kehilangan wash-out biomassa anaerob dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa kehilangan biomassa semakin menurun dengan meningkatnya laju alir umpan. Peningkatan debit umpan menyebabkan pola aliran di dalam sistem menjadi turbulen dan dapat menghanyutkan padatan biomassa sehingga terbawa aliran keluar dari sistem. Hasil ini membuktikan bahwa sistem bioreaktor hybrid anaerob telah optimal mencegah terjadinya kehilangan biomassa dari sistem. Dengan sendirinya konsentrasi biomassa dalam bioreaktor dapat ditingkatkan dan waktu tinggal biomassa dapat diperpanjang, sehingga bioreaktor ini mampu mengkonversi limbah cair pabrik kelapa sawit menjadi bahan bakar gas. Pengaruh Laju Pembebanan Organik Terhadap Kinerja Bioreaktor Hasil pengamatan selama variabel laju pembebanan pada bioreaktor hybrid anaerob ditampilkan dengan melihat hubungan antara laju pembebanan organik terhadap penyisihan bahan organik, Variabel laju pembebanan yang dikaji yakni, 10; 12,5; 14,3; 16,6; 20; 25; 33 dan 50 KgCOD /M3-hari Penyisihan Bahan Organik Penyisihan bahan organik dan efisiensi penyisihan bahan organik ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi laju pembebanan organik akan mengakibatkan semakin tinggi penyisihan bahan organik. Hal ini dapat dimengerti karena dengan semakin tinggi pembebanan organik berarti semakin banyak bahan organik yang diberikan dengan sendirinya semakin banyak yang dapat disisihkan. Sejalan dengan hal tersebut, terlihat bahwa efisiensi penyisihan bahan organik relatif tinggi dan konstan. Efisiensi penyisihan bahan organik ini menunjukkan kemampuan biodegradasi limbah cair pabrik kelapa sawit oleh bakteri anaerob menjadi gas metan dan gas CO2. Semakin tinggi efisiensi penyisihan bahan organik menunjukkan bahwa bahan organik yang diubah menjadi gas metan semakin banyak, sebaliknya gas CO2 semakin menurun. Hal ini dapat dipahami karena dengan pembebanan organik tinggi maka bahan organik lebih banyak diuraikan menjadi asam asetat, selanjutnya asam asetat diubah menjadi biogas oleh kelompok bakteri metanogen. Hal ini dibuktikan dengan semakin tinggi efisiensi penyisihan bahan organik sebesar 88 % pada bioreaktor hybrid bermedia tandan kosong sawit dan 84 % pada bioreaktor hybrid bermedia tandan kosong sawit dengan laju pembebanan organik sebesar 50 KgCOD /M3-Hari. Menurut Malina dan Pohland 1992 bahwa tingkat kinerja pengolahan anaerob yang baik berkisar dari 80-90% penyisihan bahan organik. Studi Banding Kinerja Bioreaktor Hybrid Anaerob Studi banding kinerja bioreaktor ditinjau dengan membandingkan kinerja bioreaktor hybrid anaerob dengan berbagai kinerja bioreaktor anaerob lainnya dalam mengkonversi limbah cair industri. Perbandingan kinerja bioreaktor ini dengan bioreaktor lainnya ditampilkan pada Tabel 4. a b Gambar 4 Pengaruh laju pembebanan organik terhadap penyisihan dan efisiensi penyisihanbahan organik pada bioreaktor hybrid anaerob bermedia tandan kosong a dan pelepah sawit b PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 31 Tabel 4. Perbandingan Kinerja Bioreaktor Hybrid Anaerob Dengan Bioreaktor Lain Beban Organik kgCOD/m3-hari Efisiensi Penyisihan organik % Keterangan AP = anaerobic pond; HRPA = High-rate anaerobic pond; DTP = digester two-phase; DDU= digester daur ulang; DTDU= digester tanpa daur ulang; DSA = digester semi-kontinu anaerob; BUFAN = bioreaktor unggun fluidisasi anaerob; HABR = hybrid anaerobic baffled reactor; ABR = anaerobic baffled reactor; MABR = modified anaerobic baffled reactor; BIOPAN = bioreaktor berpenyekat anaerob; WTH = waktu tinggal hidraulik; BIOHAN = bioreaktor hybrid anaerob Tabel 4 menunjukkan bahwa kinerja bioreaktor hybrid anaerob baik bermedia tandan kosong sawit maupun bermedia pelepah sawit memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem anaerobic pond dan high-rate anaerobic pond Thanh, 1980. Pada sistem anaerobic pond meskipun penyisihan COD lebih tinggi dari penelitian ini, namun memerlukan waktu pengolahan yang sangat lama yaitu 15-20 hari. Hal yang sama juga diperoleh pada high-rate anaerobic pond yaitu penyisihan sebesar 95 % selama waktu pengolahan 15 hari, dan bioreaktor berpenyekat anaerob mampu menyisihkan COD sebesar 86 % selama waktu tinggal cairan 20 jam Ahmad, 2001, sedangkan pada penelitian ini mampu menyisihkan COD dengan efisiensi penyisihan sebesar 88 % dan 84 %, berturut-turut bioreaktor hybrid anaerob bermedia tandan kosong sawit dan bioreaktor hybrid anaerob bermedia pelepah sawit pada waktu tinggal 1 hari. Disamping itu, kinerja bioreaktor hybrid anaerob memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan digester dua tahap Ng dkk., 1985. Digester dua tahap hanya mampu menyisihkan COD sebesar 78 % pada waktu tinggal cairan 11 hari. Di samping itu, kinerja bioreaktor hybrid anaerob memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bioreaktor unggun fluidisasi anaerob Arief, 1992; Ahmad dan Setiadi, 1993. Bioreaktor unggun fluidisasi anaerob satu tahap hanya mampu menyisihkan COD sebesar 75 % selama waktu tinggal cairan 3 hari, sedangkan bioreaktor unggun fluidisasi anaerob dua tahap mampu menyisihkan COD sebesar 93 % selama waktu tinggal 5 hari. Waktu pengolahan yang cukup singkat yakni 1 hari pada penelitian ini menunjukkan bahwa sistem bioreaktor hybrid anaerob lebih baik karena ukuran bioreaktor yang relatif kecil dengan sendirinya kebutuhan lahan untuk membangun instalasinya relatif penghematan secara ekonomi. Bila dibandingkan bioreaktor hybrid anaerob pada penelitian ini dengan sistem yang lain dalam mengolah limbah cair industri minyak sawit Faisal, 1994; Retnowati, 1996 menunjukkan bahwa penyisihan COD pada penelitian ini relatif sama, namun waktu pengolahan jauh lebih pendek yaitu 1 hari. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa sistem bioreaktor hybrid anaerob dengan pengendalian proses pada kondisi pH 7 lebih unggul dibandingkan dengan sistem bioreaktor lainnya. Hal ini disebabkan karena pada pH 7 aktivitas bakteri metanogen lebih optimal dalam memanfaatkan senyawa organik sederhana menjadi biogas. Menurut Benefield dan Randall 1980, bakteri metan sangat sensitif terhadap perubahan pH. Laju fermentasi metan relatif konstan pada rentang pH 6,0 hingga 8,5, namun menurun sangat cepat diluar rentang tersebut. Menurut Sahm 1984 bahwa aktivitas metan relatif konstan pada rentang pH 6-8. Kelebihan bioreaktor hybrid anaerob ditunjukkan oleh kemampuan untuk menerima pembebanan COD tinggi yakni sebesar 50 KgCOD/m3-hari pada waktu tinggal 1 hari dengan efisiensi penyisihan COD sebesar 84-88 %. Dengan demikian, bioreaktor hybrid anaerob mampu digunakan untuk biokonversi limbah cair pabrik kelapa sawit menjadi bahan bakar gas dengan beban COD tinggi. 4 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut 1. Laju alir umpan optimum bioreaktor hybrid anaerob bermedia tandan kosong diperoleh sawit sebesar L/hari, pH relatif konstan sebesar 7,2, konsentrasi asam lemak volatil sebesar PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 32 mgTAV/L, kualitas efluen sebesar mgCOD/L, kehilangan biomassa anaerob sebesar mgVSS/L, efisiensi penyisihan COD sebesar 88 % dengan laju pembebanan organik sebesar 50 kgCOD/m3-hari dan waktu tinggal hidraulik sebesar 1 satu hari. 2. Laju alir umpan optimum bioreaktor hybrid anaerob bermedia pelepah sawit diperoleh sebesar L/hari, pH relatif konstan sebesar 7,2, konsentrasi asam lemak volatil sebesar 895 mgTAV/L, kualitas efluen sebesar mgCOD/L, kehilangan biomassa anaerob sebesar mgVSS/L, efisiensi penyisihan COD sebesar 84 % dengan laju pembebanan organik sebesar 50 kgCOD/m3-hari dan waktu tinggal hidraulik sebesar 1 satu hari. 3. Pada berbagai laju alir umpan yang diuji diperoleh pH pada rentang 6,9 hingga 7,5, konsentrasi asam lemak volatil pada rentang 891 hingga mgTAV/L, kehilangan biomassa anaerob pada rentang hingg mgVSS/L. 4. Pada berbagai laju pembebanan COD diperoleh efisiensi penyisihan bahan organik pada rentang 40 % hingga 88 % dengan kualitas COD efluen pada rentang hingga mgCOD/L. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Penelitian Unggulan Strategis Nasional Batch I tahun 2009 dengan surat perjanjian Pelaksanaan Penelitian No. 428/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 tanggal 20 Juni 2009. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A, Kinerja Bioreaktor Unggun Fluidisasi Anaerobik Dua Tahap Dalam Mengolah Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit, Laporan Magang, PAU-Bioteknologi ITB, Bandung, 1992 Ahmad, A, T. Setiadi dan IG Wenten, Bioreaktor Membran Anaerob Untuk Pengolahan Limbah Cair Industri Minyak Sawit, Laporan Akhir HIBAH BERSAING IX, DP3M DIKTI DEPDIKNAS RI, Jakarta, 2003 Ahmad, Adrianto, Biodegradasi Limbah Cair Industri Minyak Sawit Dalam Sistem Bioreaktor Anaerob, Disertasi, Program Pascasarjana ITB, Bandung, 2001 Ahmad, A dan T. Setiadi, Pemakaian bioreaktor unggun fluidisasi anaerob dua tahap dalam mengolah limbah cair pabrik minyak sawit, Seminar Nasional Bioteknologi Industri, PAU-Bioteknologi ITB, Bandung, 27-29 Januari, 1993 APHA, AWWA & WCF, Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, American Public Health Association, Washington DC, 1992 Arief, M., Pengolahan Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit Dengan Bioreaktor Unggun Fluidisasi Anaerobik, Thesis Magister ITB, Bandung, 1992 Boopathy, R dan Sievers, Performance of a Modified Anaerobic Baffled Reactor ABR to Treat Swine Waste, Transactions of the ASAE., 346, 1991 Boopathy, R, Larsen, dan Senior, E., “Performance of Anaerobic Baffled Reactor ABR in Treating Distillary Wastewater from a Scotch Whisky Factory”., Biomass, 16, 133-143 1988 Chen, Li dan Shieh, “Performance Evaluation of The Anaerobic Fluidized Bed Systems I. Substrat Utilisation and Gas Production”, J. Chem Tech. Biotech., 35, 101-109, 1985 Chin, Anaerobic treatment kinetics of palm oil sludge, Wat. Res., 15, 199-202, 1981 Faisal, Pengolahan Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit Dengan Bioreaktor Berpenyekat Anaerobik, Thesis Magister ITB, Bandung, 1994 Ghosh, S dan Klass, “Two-Phase Anaerobic Digestion”, Process Biochemistry, april, 15-24, 1978 Grobicki, A dan Stuckey, “Performance of the Anaerobic Baffled Reactor under Steady State and Shock Loading Condition”, Biotechnol. And Bioeng., 37, 344-355, 1991 Gujer, W dan Zehnder, “ Conversion Processes in Anaerobic Digestion”, Wat. Sci. Tech., 15, 127-167, 1983 Heijnen, J. J., A. Mulder, W. Enger, Lourens, Keijzers dan Hoeks, “Application of Anaerobic Fluidized Bed Reactors in Biological Wastewater Treatment”, Starch/Starke., 3812, 419-428, 1986 Hickey, Wu, Veiga dan R. Jones, “Start-up, Monitoring and Control of High-rate Anaerobic Treatment Systems”, Water Sci. Tech., 248, 207-255, 1991 Lema, et al., “Chemical Engineering Concept in Operation and Design Process Anaerobic Wastewater Treatment”, Water Sci. Tech., 248, 79-86, 1991 PROSIDING SNTK TOPI 2011 Pekanbaru, 21- 22 Juli 2011 IOP08 - 33 Malina, dan Pohland, Design of anaerobic processes for the treatment of industrial and municipal wastes, Water Quality Management Library, Vol. 7, 1992 McInerney, “ Anaerobic Hydrolysis and Fermentation of Fats and Protein”, Biology of Anaerobic Microorganism, editor Zehnder, John Willey and Sons, New York, 1988 Nakamura, M, H. Kanbe dan J. Matsumoto, ”Fundamental Studies on Hydrogen Production in the Acid-Forming Phase and Its Bacteria in Anaerobic Treatment Processes-the Effects of Solids Retention Time”, Wat. Sci. Tech., 287, 81-88, 1993 Ng, Wong dan Chin, “Two-phase Anaerobic Treatment Kinetics of Palm Oil Wastewaters”, Water Res., 195, 667-669. 1985 Retnowati, Pengaruh Laju Pembebanan dan Resirkulasi Pada Kinerja Biopan Untuk Pengolahan Limbah Cair Industri Minyak Sawit, Thesis Magister ITB, Bandung, 1996 Sam-Soon, P, Loewenthal, M, C. Wentzel dan GvR. Marais, “a Long-chain Fatty Acids, Oleat, as Sole Substrate in UASB Reactor Systems”, Water SA., 171, 31-36, 1991 Thanh, High organic wastewater control and management in the tropics, Water Pollution Control Conference, CDG, AIT-ERL, Bangkok, Nov., 1980 Yang, dan Chou, “Horizontal-Baffled Anaerobic Reactor for Treating Diluted Swine Wastewater”, Agricultural Waste, 14, 221-239, 1985 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this NakamuraHiroshi KanbeMatsumoto JIEffects of solids retention time SRT on hydrogen gas production, glucose degradation and anaerobic bacteria in anaerobic treatment processes were investigated with use of 11,700 mg/l glucose solution as a substrate. Five series of experiments were conducted at 36 ± 1°C. Volatile fatty acids were produced in the order acetic, n-butyric, propionic and n-valeric with concentration of effluent. Counts of general anaerobic bacteria and acid-forming bacteria in each reactor increased with increasing SRT, and counts of genus Clostridium and sulphate reducing bacteria in the reactor decreased with increasing SRT of the reactor. Gas production rates and gas composition were investigated to obtain information on energy production. Solids retention time increased from 2 to 10 h, hydrogen gas content decreased from 12 to 9%. The kinetic constants such as the microbial decay coefficient Kd, the maintenance coefficient m and the growth yield for microorganisms YG were and day-1, respectively. Raj SieversTwo laboratory scale, anaerbic baffled reactors one with two chambers, a second with three chambers were used to successfully treat whole swine manure. COD reductions were 69% and 62%, respectively, with maximum methane production of and L/g VS added at a loading of 4 g VS/L d. The baffled chambers did an excellent job of trapping the small diameter, methane containing particles of proteins, cellulose, hemicellulose and lipids. Solids retention times of 22 and 25 days were achieved with a corresponding hydraulic retention of 15 a prelude to the individual papers describing the various anaerobic treatment process configurations, the anaerobic treatment process is described in terms of chemical reaction engineering. These descriptions are made in terms of kinetics, stoichiometry, thermodynamics and mass transfer considerations. The implications of these concepts on design and operations are also discussed. Ping-Yi YangC. Y. ChouThe main objective of this study was to develop a low capital cost, simply operated and effective anaerobic reactor for treating, in the tropics, highly-diluted swine wastewater containing particulate solids. A horizontal-baffled reactor with a liquid volume of 20 liters was tested at 30°C. Supernatant of settled swine wastewater with a TVS concentration under 2 g liter−1 was used as feedstock. The reactor was an effective design for increasing the SRT 15–300 days at the low HRT 025–5 days being used. Maximum TCOD removal and maximum methane production rates of 81% and 08 liter liter−1 day−1 at a TCOD loading rate of 25 and 85 g liter−1 day−1, respectively were observed. Operational performance was comparable with the anaerobic filter in treating the supernatant of settled swine wastewater. This reactor configuration was also simple in construction and operation compared with other existing anaerobic reactors. Shuvo KlassAn improved two phase anaerobic digestion process in which an initial phase continually receives an organic feed for short detention times of less than two days under conditions which efficiently liquefy and breakdown the feed to lower molecular weight acids and other intermediates for conversion to methane. A succeeding phase is operated to treat the lower molecular weight acids and intermediates for detention times of about two to about seven days under conditions which efficiently lead to production of methane. The feed is loaded in the first phase at rates from about 1 to about 10 pounds of total organics per cubic foot per day; and the products from the initial phase are loaded in the succeeding phase at rates of about to about pounds total organics per cubic foot per day. 2 J Enger Arnold MulderF. W. J. M. M. HoeksFrom pilot experiments 0,3–3,6 m3 and full scale application 300 m3 it is shown that the improved anaerobic fluid bed technology represents a very reliable and compact high-rate technology for the purification of highly fluctuational industrial wastewater. A two-stage process acidification/methanation appeared to have advantages with respect to process stability as well as purification capacity. On full scale the average purification capacity, reached six months after start-up, was 28 kg COD/m3 day based on the volume of the methane reactor, with peaks of 50 kg COD/m3 day. Further increases in capacity may be expected in the future. Anwendung der anaeroben Wirbelschichttechnik bei der biologischen Abwasser-Behandlung. Anhand von Pilotversuchen 0,3–0,6 m3 und Versuchen im Produktionsmaßstab 300 m3 wird gezeigt, daß die entwickelte anaerobe Wirbelschichttechnik ein sehr zuverlässiges kompaktes Hochleistungsverfahren darstellt für die Reinigung der stark variablen industriellen Abwässer. Es zeigte sich, daß ein 2stufiges Verfahren große Vorteile bietet in bezug auf Prozeßstabilität und Reinigungskapazität. Die Abbauleistung im Produktionsmaßstab erreichte nach sechs Monaten einen Mittelwert von 28 kg CSB/m3 Tag bezogen auf den Methan-Reaktor und einen Spitzenwert von etwa 50 kg CSB/m3/Tag. Eine weitere Steigerung der Kapazität in Zukunft ist nicht J. ChenChun T. LiWen K. ShiehCOD removal efficiencies in the range 75 to 98% were achieved in an anaerobic fluidised bed system designed for the recovery of methane from liquid wastes, when evaluated at COD loadings of between to 108 kg m−3 day−1, hydraulic retention times of between to 8 h, and feed COD concentrations of beween 480 to 9 000 mg dm−3. More than 90% of feed COD could be removed up to COD loadings of about 40 kg m−3 day−1. Up to around 300 dm2 of methane were produced per kg COD removed and this methane production rate was independent of the COD loadings applied in this investigation. Volatile acid concentration in the reactor increased sharply at a COD loading of about 40 kg m−3 day−1 and therefore, sufficient alkalinity should be provided to prevent pH from dropping to the undesirable level. The anaerobic fluidised bed system can be operated at a significantly higher liquid throughputs while maintaining its excellent efficiency. Jern Wun ChinA laboratory-scale two-phase anaerobic digestion system was used to treat a palm oil mill effluent POME containing around 63,000 mg l−1 COD. Phase separation was accomplished through control of the hydraulic retention times of two reactors operated in series. Acid and methane phase biokinetic coefficients were evaluated. Steady state parameters indicate good process stability with high gas yields.
Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit – Limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan tandan buah segar TBS kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil CPO dan Palm Kernel Oil KPO langsung dialirkan menuju ketempat pengolahan limbah. Berdasarkan data yang didapat dari PT Perkebunan Mitra Ogan 2015, fungsi dari setiap kolam pengolahan limbah pada pabrik kelapa sawit, yaitu 1. Fat Pit Limbah dari Pabrik Kelapa Sawit PKS dialirkan masuk kedalam fat pit. Kolam fat pit digunakan untuk menampung cairan – cairan yang masih mengandung minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi. Pada fat pit ini terjadi pemanasan dengan menggunakan steam dengan suhu 60-80 oC. Pemanasan ini berguna untuk memudahkan dalam pemisahan minyak dengan sludge, sebab pada fat pit ini masih memungkinkan untuk dilakukan pengutipan minyak dengan menggunakan skimmer. Limbah cair dari fat pit ini lalu dialirkan ke dalam kolam cooling pond yang berguna untuk mendinginkan limbah yang dipanaskan Wibisono, 2013. 2. Kolam Pendinginan Limbah cair yang telah dikutip minyaknya pada oil trap fatpit mempunyai karakteristik pH 4 – 4,5 dengan suhu 60 – 80 oC sebelum limbah dialirkan ke kolam pengasaman acidifaction pond suhunya diturunkan menjadi 40 – 45 oC agar bakteri mesophilik dapat berkembang dengan baik. Gambar 1. Cooling Pond pada PT Perkebunan Mitra Ogan Gambar 1 merupakan gambar pengambilan bahan baku berupa air limbah kelapa sawit yang terletak di cooling pond. Pada Gambar 1, limbah cair yang telah dikutip minyaknya pada oil trap fatpit mempunyai karakteristik pH 4 – 4,5 dengan suhu 60 – 80 oC sebelum limbah dialirkan ke kolam pengasaman acidifaction pond suhunya diturunkan menjadi 40 – 45 oC agar bakteri mesophilik dapat berkembang dengan baik. pendinginan penting dalam mempersiapkan kondisi kehidupan bakteri mesofilik. Dengan temperatur sekitar 38 0C maka bakteri akan berkembang dengan baik, dengan lama penahan limbah ± 5 hari, bagian minyak yang terapung diatas permukaan dikembalikan ke bagian produksi untuk diolah lanjut, kolam ini biasanya berukuran lebar dan dangkal. 3. Kolam Pengasaman Setelah dari kolam pendingin, limbah mengalir ke kolam pengasaman yang berfungsi sebagai proses pra kondisi bagi limbah sebelum masuk ke kolam anaerobik. Pada kolam ini, limbah akan dirombak menjadi volatile fatty acid VFA. Kolam pengasaman pada pabrik kelapa sawit, dilampirkan pada gambar berikut. Gambar 2. Acidifaction Pond pada PT Perkebunan Mitra Ogan Gambar 2 merupakan kolam pengasaman dimana limbah yang segar mengandung senyawa organik yang mudah dihidrolisa dan menghasilkan senyawa asam. Supaya senyawa asam yag terkandung didalam limbah tidak mengganggu proses pengendalian limbah maka dilakukan pengasaman acidification. Dalam kolam ini pH limbah umumnya berkisar 3 – 4, dan kemudian pH nya naik setelah asam – asam organik terurai kembali oleh proses hidrolisa yang berlanjut. 4. Kolam Resirkulasi Resirkulasi dilakukan dengan mengalirkan cairan dari kolam anaerobik yang terakhir ke saluran masuk kolam pengasaman yang bertujuan untuk menaikkan pH dan membantu pendinginan. 5. Kolam Pembiakan Bakteri Kolam pembiakan bakteri dibuat untuk membiakkan bakteri pada awal pengoperasian pengendalian limbah. Kolam pembiakan bakteri memiliki kondisi yang disesuaikan agar bakteri dapat tumbuh dengan baik. Kondisi yang optimum untuk kolam ini adalah pH suhu 30 – 40 oC untuk bakteri mesophyl, kedalaman kolam 5-6 m dan ukuran kolam diupayakan dapat menampung air limbah 2 hari olah atau setara 400 m3 untuk pabrik kelapa sawit PKS kapasitas 30 tonTBS/jam. 6. Kolam Anaerobik Limbah dari kolam pengasaman akan mengalir ke kolam anaerobik primer. BOD limbah setelah keluar dari kolam anaerobik sekunder maksimal ialah 3000 mg/l dengan pH minimal 6,0. Kolam anaerobik dapat dilihat pada gambar 3 berikut Gambar 3. Anaerob Pond pada PT Perkebunan Mitra Ogan Pada Gambar 3 diatas, pH dari kolam pengasaman masih sangat rendah, maka limbah harus dinetralkan dengan cara mencampurkannya dengan limbah keluaran pipa outlet dari kolam anaerobik. Bersamaan dengan ini, bakteri anaerobik yang aktif akan membentuk asam organik dan CO2. Selanjutnya bakteri metana Methanogenic Bacteria akan merubah asam organik menjadi methane dan CO2. BOD limbah pada kolam anaerobik primer masih cukup tinggi, maka limbah harus diproses lebih lanjut pada kolam anaerobik sekunder, dimana kolam ini dapat dikatakan beroperasi dengan baik apabila nilai parameter utamanya berada pada tetapan sebagai berikut pH 6 - 8 Volatile fatty acidVFA < 300 mg/l Alkalinitas < 2000 mg/l 7. Kolam Fakultatif Kolam ini adalah kolam peralihan dari kolam anaerobik menjadi aerobik atau dapat disebut proses penon-aktifan bakteri anaerob dan pra kondisi dari proses aerobic. Karakteristik limbah pada kolam fakultatif yaitu pH 7,6 – 7,8. Biological Oxygen Demand BOD 600-800ppm, Chemical Oxygen Demand COD1250-1750 ppm. Aktivitas ini dapat diketahui dengan indikasi pada permukaan kolam yang tidak dijumpai scum dan cairan tampak kehijau -hijauan. Proses fakultatif ini dilakukan di dalam kolam sedimentasi yang terlihat pada gambar berikut. Gambar 4. Sedimentation Pond pada PT Perkebunan Mitra Ogan Gambar 4 merupakan kolam peralihan dari kolam anaerobik menjadi aerobik atau dapat disebut proses penon-aktifan bakteri anaerob dan pra kondisi dari proses aerobic. Karakteristik limbah pada kolam fakultatif yaitu pH 7,6 – 7,8. BOD 600-800ppm, COD 1250-1750 ppm. Aktivitas ini dapat diketahui dengan indikasi pada permukaan kolam yang tidak dijumpai scum dan cairan tampak kehijau-hijauan. 8. Kolam Aerasi Kolam aerasi dibuat untuk pemberian oksigen yang dilakukan secara difusi dengan tujuan agar dapat berlangsung reaksi oksidasi dengan baik. Kolam ini dibuat dengan kedalaman 3m dan ditempatkan alat yang dapat meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam air serta dilengkapi dengan dua uni talat aerator. 9. Kolam Aerobik Proses yang terjadi pada kolam anaerobik adalah proses aerobic. Pada kolam ini, telah tumbuh ganging dan mikroba heterotrof yang berbentuk flocs. Proses ini merupakan langkah penyediaan oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba dalam kolam. Gambar 5. Anaerob Pond sirk pada PT Perkebunan Mitra Ogan Gambar 5 menunjukkan bahwa kolam Anaerob ini berfungsi untuk menurunkan BOD, dan COD serta minyak dan lemak dari limbah pabrik sawit. Ciri utama kolam anaerobik adalah permukaan kolam tertutup oleh jenis khamir sehingga ketersedian oksigen dan cahaya matahari sangat rendah di dalam kolam yang mengefektifkan kinerja bakteri anerob dalam mengurai limbah 10. Land Application Kolam ini merupakan tempat pembuangan terakhir limbah, dimana Proses yang terjadi pada kolam ini adalah proses penon-aktifan bakteri anaerobic dan prakondisi proses aerobic. Aktivitas ini dapat diketahui dengan indikasi pada permukaan kolam tidak dijumpai scum dan cairan tampak kehijau-hijauan Dari seluruh rangkaian proses tersebut, masa tinggal limbah selama proses berlangsung mulai dari kolam pendinginan hingga air dibuang ke badan penerima membutuhkan masa waktu tinggal selama kurang lebih 120 – 150 hari.
kolam limbah pabrik kelapa sawit